KETERBACAAN
BUKU
SISWA KELAS RENDAH
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Pengertian
Keterbacaan
merupakan alih bahasa dari (readability).
Bentuk readability merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar
“readable”, artinya “dapat dibaca” atau “terbaca”. Keterbacaan adalah ihwal
terbaca tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya (A. Hardjasujana
dan Mulyati, 1996:106).
Jadi,
keterbacaan mempersoalkan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan
bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu.
Keterbacaan
adalah pengukuran tingkat kesulitan sebuah buku atau wacana secara objektif.
Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dengan peringkat kelas. Setelah diukur
tingkat keterbacaan suatu bahan bacaan maka akan diketahui apakah bahan
tersebut sesuai untuk tingkat kelas tertentu.
Menurut
Tampubolon (1990:213), secara umum dapat dikatakan bahwa keterbacaan
(readability) ialah sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat
dari tingkat kesukarannya. Keterbacaan dapat pula diartikan perihal terbaca
tidaknya sebuah buku teks oleh pembaca tertentu.
B.
Ciri-ciri
khusus
karakteristik buku teks pelajaran kelas
rendah adalah:
1. Memiliki
landasan keilmuan yang jelas dan mutakhir;
2. Berisi
materi yang memadai, bervariasi, mudah dibaca, dan sesuai dengan kebutuhan
siswa;
3. Disajikan
secara sistematis, logis, dan teratur;
4. Meningkatkan
minat siswa untuk belajar;
5. Berisi
materi yang membantu siswa untuk memecahkan masalah keseharian;
6. Memuat
materi refleksi dan evaluasi diri untuk mengukur kompetensi yang telah dan akan
dipelajari.
C.
Tujuan
Kajian keterbacaan ini
dilakukan untuk mengetahui keterbacaan berdasarkan interaksi pembaca (siswa)
dengan buku teks pelajaran Sekolah Dasar berstandar Nasional. Untuk mendapatkan
informasi itu, terlebih dahulu dikaji profil pembaca (siswa) Sekolah Dasar di
Indonesia. Fokus kajian ini adalah mengetahui keterbacaan buku teks pelajaran
yang telah dinyatakan memenuhi standar nasional, terutama berdasarkan
keterpahaman dan kemenarikan buku ditinjau dari kondisi siswa Sekolah Dasar di
Indonesia. Selain itu, keterbacaan buku teks pelajaran tersebut ditinjau pula
berdasarkan tanggapan dan pengalaman guru dalam menggunakan buku teks pelajaran
dalam kegiatan pembelajaran.
Dalam hal keterbacaan berdasarkan kondisi siswa, data dikaji berdasarkan karakteristik siswa ditinjau dari (1) jenis buku teks pelajaran yang digunakan dalam mata pelajaran b.indonesia; (2) kewilayahan (Indonesia bagian Barat dan Timur); (3) tingkatan pendidikan (kelas rendah/kelas 1 dan 3); serta (3) berdasarkan jenis kelamin siswa (laki-laki dan perempuan).
Dalam hal keterbacaan berdasarkan kondisi siswa, data dikaji berdasarkan karakteristik siswa ditinjau dari (1) jenis buku teks pelajaran yang digunakan dalam mata pelajaran b.indonesia; (2) kewilayahan (Indonesia bagian Barat dan Timur); (3) tingkatan pendidikan (kelas rendah/kelas 1 dan 3); serta (3) berdasarkan jenis kelamin siswa (laki-laki dan perempuan).
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pembahasan
1.
Pengertian
Keterbacaan
Untuk memperoleh bahan ajar membaca, guru harus mampu memilih
bahan ajar bacaan yang layak untuk para siswanya. Hal ini merupakan hal yang
tidak dapat diabaikan, terlebih bagi huru bahasa Indonesia, karena secara
formal pengajaran membaca dibebankan pada guru bidang studi bahasa Indonesia.
Dikemukakan Harjasujanadan Yeti Mulyati (1997:105) bahwa “buku paket, buku teks
sebagai pegangan dasar dalam melaksankan kegiatan belajar ini sangat banyak
jumlahnya, namun tidak berarti guru harus terpaku dengan satu macam bahan ajar
yang ada. jadi, dengan menentukan bahan
jar bacaan yang cocok dan layak digunakan siswa dan guru harus mempu memilihkan
bahan bacaan yang layak baca untuk para siswanya, salah satunya guru harus
memahami kriteria penentuan kelayakan bahan bacaan itu dengan menentukan
tingkat keterbacaan sebuah bacaan atau wacana.
Sebagaimana penulis kemukakan bahwa untuk menentukan tingkat
kelayakan sebuah wacana dapat dibaca siswa, kita dapat menganalisisnya dengan
karakteristik keterbacaan. Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997:106) mengemukakan
bahwa, Keterbacaan merupakan istilah
dalam bidang pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi
yang sepantasnya dibaca seseorang. Keterbacaan merupakan alih bahasa dari
redabality. Bentuk readability merupakan kata tuunan yang dibentuk oleh bentuk
dasar “readable” dapat dibaca atau terbaca. Konfiks ke-an pada bentuk
keterbacaan mengandung arti “hal yang berkenaan” denagn apa yang disebut dalam
bentuk dasarnya. Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan “keterbacaan”
sebagai hal ihwal terbaca tidaknya suatu bahn bacaan tertentu oleh pembacanya.
Jadi, keterbacaan ini mempersolakan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan
suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Keterbacaan
(redability merupakan ukuran sesuai tidaknya suatu abhan bagi pembaca tertentu
dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya.
Keterbacaan merupakan padanan redability dalam bahasa
inggris. Istilah ini diartikan Harjasujana, dkk. (1999:10) yaitu:
a.
Kemudahan
tipografi atau tulisan tangan,
b.
Kemudahan
membaca yang disebabkan oleh daya tarik bahan bacaan dan tingkat minat baca
atau,
c.
Kemudahan
memahami bahan bacaan yang disebabkan kecerdasan bahasanya.
Sakri dalam Harjasujana dkk. (1999:11) menjelaskan bahwa,
Keterbacaan mertupakan antara ketedasan dan kejelahan. Ketedasan berhubungan dengan keterbacaan bahasa, sedangkan kejelahan berhubungan dengan keterbacaan tata huruf. Baik ketedasan mapun kejelahan ditentukan oleh banyak faktor. Berbagai faktor yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah ihwal ketedasan. Tata huruf dan daya tarik wacana hanya disingggung pada waktu diperlukan untuk melancarkan pembicaraan.
Keterbacaan mertupakan antara ketedasan dan kejelahan. Ketedasan berhubungan dengan keterbacaan bahasa, sedangkan kejelahan berhubungan dengan keterbacaan tata huruf. Baik ketedasan mapun kejelahan ditentukan oleh banyak faktor. Berbagai faktor yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah ihwal ketedasan. Tata huruf dan daya tarik wacana hanya disingggung pada waktu diperlukan untuk melancarkan pembicaraan.
Keterbacaaan (redability) merupakan ukuran tentang
sesuai-tidaknya suatu bahan bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi
tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya.
Uraian di atas penulis simpulkan bahwa tingkat keterebacaan
dapat diartikan sebagai tingkat kesulitan atau kemudahan wacana. Faktor yang
paling utama mempengaruhi keterbacaan ada dua hal, yakni panjang pendeknya
kalimat dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah huruf dan kalimat
yang membentuknya.
B.
Sintaks
1. Keterbacaan Berdasarkan Karakteristik Siswa
Dalam
melakukan interaksi antara bacaan (berbahasa Indonesia) berdasarkan keterpahaman
kosakata, kalimat, paragraf, jenis teks/bacaan; kemenarikan buku teks
pelajaran; dan kemudahan dalam memahami sistematika penyajian diketahui sebagai
berikut.
a. Keterpahaman Kosakata
Pemahaman
siswa sekolah dasar terhadap penggunaan kosakata dalam buku teks pelajaran
bergantung pada pengenalan mereka terhadap kosakata itu. Artinya, pemahaman
mereka akan baik jika kosakata yang digunakan dalam buku Bahasa Indonesia,
Sains, dan Pengetahuan Sosial itu secara berurutan sering didengar, kosakata tersebut
sudah dikenal dan sering digunakan. Ini menunjukkan bahwa kondisi siswa SD pada
umumnya memahami kosakata itu karena mereka sering mendengar, mengenal, dan
sering menggunakan kosakata tersebut.
b. Keterpahaman Kalimat
Pemahaman siswa
sekolah dasar terhadap penggunaan kalimat dalam buku teks pelajaran bergantung
pada keintiman kalimat tersebut dengan siswa. Artinya, jika kalimat-kalimat itu
sudah sering dikenal oleh siswa maka akan semakin tinggi keterbacaan buku teks
pelajaran tersebut.
Hal yang harus diperhatikan
bahwa keterbacaan buku teks pelajaran ditentukan pula oleh kesederhanaan
kalimat yang digunakan. Semakin sederhana kalimat yang disusun dalam buku teks
pelajaran maka akan semakin tinggi pula keterbacaan buku teks tersebut. Apabila
dalam buku teks tersebut digunakan kalimat yang sulit atau belum dikenal siswa,
maka keterbacaannya menjadi rendah. Namun, akan menjadi tinggi keterbacaannya
jika kalimat tersebut diikuti dengan kalimat-kalimat atau uraian yang berfungsi
sebagai penjelas serta kalimat tersebut sering didengar oleh para siswa.
c. Keterpahaman Paragraf
Pemahaman siswa
sekolah dasar terhadap penggunaan paragraf dalam buku teks pelajaran bergantung
pada letak gagasan utama dalam paragraf tersebut. Apabila dalam suatu paragraf
menempatkan gagasan utama pada awal paragraf maka siswa lebih dapat memahami
paragraf tersebut. Artinya, paragraf-paragraf yang disusun dengan menempatkan
gagasan pokok atau pikiran utama pada awal paragraf lebih dapat dipahami siswa
makna paragraf tersebut dan memiliki keterbacaan tinggi. Tingkat keterbacaan
juga sangat ditentukan oleh ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi
paragraf tersebut. Dengan demikian, selain menempatkan pikiran utama atau
gagasan utama pada awal paragraf, kehadiran gambar atau ilustrasi yang
mengiringi paragraf tersebut dapat mempertinggi keterpahaman siswa terhadap
paragraf yang digunakan.
d. Keterpahaman Bacaan
Pada umumnya teks
atau wacana yang digunakan dalam buku terstandar nasional dapat dipahami. suatu
teks/bacaan mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan
bentuk wacana eksposisi dan narasi atau argumentasi.
Hal yang sangat
menarik adalah jika ditinjau berdasarkan jenis mata pelajaran, diketahui bahwa
kelompok mata pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) bacaan yang mudah
dipahami jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi,
sedangkan untuk kelompok mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan
Pengetahuan Sosial) jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan
eksposisi.
Apabila ditinjau berdasarkan tingkatan pendidikan, diketahui bahwa tingkat kemudahan dalam memahami teks/bacaan, maka berdasarkan siswa kelas rendah (1-3) suatu bacaan dianggap mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi.
Apabila ditinjau berdasarkan tingkatan pendidikan, diketahui bahwa tingkat kemudahan dalam memahami teks/bacaan, maka berdasarkan siswa kelas rendah (1-3) suatu bacaan dianggap mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi.
e. Kemenarikan Penyajian Buku Teks Pelajaran
Berdasarkan kajian
diketahui bahwa buku teks terstandar pada umumnya sangat menarik yang menjadi
responden. Adapun ketika dikonfirmasi kepada siswa alasan pernyataan tersebut
dinyatakan bahwa buku teks pelajaran terstandar menarik karena menggunakan
gambar atau ilustrasi yang memperjelas isi materi yang disajikan dan
menggunakan huruf/bacaan yang jelas dan terbaca, serta bahasa yang mudah
dipahami.
Kemenarikan buku
teks pelajaran terstandar jika ditinjau berdasarkan karakteristik responden,
alasan tersebut hampir sama, kecuali ketika responden diklasifikasikan
berdasarkan tingkatan kelas. responden kelas rendah (1-3) karena menggunakan
gambar yang memperjelas isi dan menggunakan huruf yang terbaca dan jelas.
f. Kemudahan Memahami Sistematika Penyajian
Berdasarkan
sistematika penyajian buku teks pelajaran terstandar diketahui bahwa pada
umumnya buku teks pelajaran itu mudah dipahami karena penyajian suatu materi
tersebut disertai gambar, dikaitkan dengan pengetahuan siswa, dan disesuaikan
dengan pengalaman siswa. Namun, apabila ditinjau berdasarkan jenis pelajaran
diperoleh informasi bahwa penyajian buku teks pelajaran Bahasa Indonesia mudah
dipahami karena materinya disesuaikan dengan pengalaman siswa. Penyajian buku
teks pelajaran Pengetahuan Sosial dan Sains dianggap mudah dipahami karena
penyajian materinya disertai gambar. Sementara itu, buku teks pelajaran
Matematika dianggap mudah dipahami karena penyajian materi dalam buku tersebut
dikaitkan dengan pengetahuan siswa.
C.
Contoh
penerapan
Hasil studi keterbacaan
yang dilaksanakan oleh Tim Pusat Perbukuan tahun 2003-2004 menyimpulkan bahwa
ciri-ciri penting dari suatu buku teks pelajaran untuk sekolah dasar yang
memiliki keterbacaan tinggi dapat dilihat dari penggunaan aspek wacana,
paragraf, kalimat, pilihan kata, dan pertanyaan atau latihan-latihan dalam buku
teks pelajaran tersebut. Berdasarkan kajian terhadap aspek wacana, maka buku
pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi untuk siswa kelas satu
sampai dengan kelas tiga jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi,
sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam disajikan dengan
menggunakan wacana deskripsi.
Berdasarkan kajian terhadap
aspek paragraf dari penelitian itu, diketahui bahwa buku pelajaran sekolah
dasar yang memiliki keterbacaan tinggi adalah buku pelajaran yang disajikan
dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif. Paragraf induktif dapat
digunakan dalam meningkatkan pemahaman siswa kelas empat, lima, dan enam jika
digunakan dalam wacana narasi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek kalimat, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa kelas dua dan tiga adalah jika kalimat-kalimat yang digunakannya berupa kalimat sederhana, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam dapat menggunakan kalimat luas yang dapat meningkatkan pemahamannya secara lebih baik. Jika wacana yang digunakannya adalah wacana argumentasi, maka kalimat-kalimat sederhana dalam wacana tersebut dapat meningkatkan keterbacaan suatu buku pelajaran.
Berdasarkan kajian terhadap aspek penggunaan kata atau pilihan kata maka buku pelajaran sekolah dasar untuk siswa kelas satu sampai dengan tiga yang memiliki keterbacaan tinggi jika pada buku tersebut digunakan kosakata sederhana, memiliki sukukata sederhana, dan kosakatanya berhubungan dengan konteks social siswa. Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sebaiknya menghindari penggunaan istilah-istilah khusus, asing atau bermakna konotatif.
Berdasarkan kajian terhadap aspek kalimat, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa kelas dua dan tiga adalah jika kalimat-kalimat yang digunakannya berupa kalimat sederhana, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam dapat menggunakan kalimat luas yang dapat meningkatkan pemahamannya secara lebih baik. Jika wacana yang digunakannya adalah wacana argumentasi, maka kalimat-kalimat sederhana dalam wacana tersebut dapat meningkatkan keterbacaan suatu buku pelajaran.
Berdasarkan kajian terhadap aspek penggunaan kata atau pilihan kata maka buku pelajaran sekolah dasar untuk siswa kelas satu sampai dengan tiga yang memiliki keterbacaan tinggi jika pada buku tersebut digunakan kosakata sederhana, memiliki sukukata sederhana, dan kosakatanya berhubungan dengan konteks social siswa. Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sebaiknya menghindari penggunaan istilah-istilah khusus, asing atau bermakna konotatif.
Berdasarkan kajian
terhadap pertanyaan bacaan atau latihan dalam buku teks pelajaran, diketahui
bahwa buku pelajaran untuk sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas tiga
sebaiknya menggunakan pertanyaan bacaan berbentuk isian terbatas, rumpang kata,
atau melengkapi sebuah kata dalam konteks kalimat. Sementara itu, pertanyaan
atau latihan untuk siswa kelas empat sampai dengan kelas enam dapat menggunakan
pertanyaan, perintah, atau latihan yang menuntut pengembangan kemampuan
berpikir logis dan kemampuan berpikir abstrak.
D.
Cara
mengukur tingkat keterbacaan
Gilliland
(1972) menyebutkan lima cara mengukur tingkat keterbacaan, yakni penilaian
subjektif, tanya jawab, formula keterbacaan, grafik & Carta, dan teknik
cloze. Penilaian subjektif dilakukan oleh sejumlah orang tertentu –seperti
guru, pustakawan, editor, dan kelompok pembaca berdasarkan pengamatan atas isi,
pola, kosakata, format dan pengorganisasian suatu bacaan. Oleh karena sifatnya
subjektif, keabsahan hasil penilaiannya bergantung pada keandalan para penilai.
Jika penilai memiliki pengetahuan yang memadai tentang aspek-aspek keterbacaan,
maka hasil penilaian biasanya memiliki validitas yang baik.
Penelitian tentang keterbacaan buku sudah berlangsung sejak tahun 1920-an, antara lain dilakukan oleh Lively dan Pressey yang menemukan formula keterbacaan berdasarkan struktur kata dan kalimat serta makna kata yang diukur dari frekuensi dan kelaziman pemakaiannya (Klare, 1984). Dale (dalam Tarigan, 1985) meneliti jumlah kosakata yang digunakan oleh anak-anak pembelajar pemula di Amerika Serikat. Sebanyak 1500 kata telah dikuasai mereka, terutama kosakata yang berhubungan dengan kata-kata yang digunakan sehari-hari. Memasuki tahun kedua, para siswa itu telah menguasai kosakata sejumlah 3000 kata. Penambahan kosakata setiap tahun sekitar 1000 kata, sehingga jumlah kosakata rata-rata bagi lulusan SMA sekitar 14000 kata, dan bagi mahasiswa sekitar 18000 sampai 29000 kata (Harris & Sipay dalam Zuchdi, 1995).
Penelitian tentang keterbacaan buku sudah berlangsung sejak tahun 1920-an, antara lain dilakukan oleh Lively dan Pressey yang menemukan formula keterbacaan berdasarkan struktur kata dan kalimat serta makna kata yang diukur dari frekuensi dan kelaziman pemakaiannya (Klare, 1984). Dale (dalam Tarigan, 1985) meneliti jumlah kosakata yang digunakan oleh anak-anak pembelajar pemula di Amerika Serikat. Sebanyak 1500 kata telah dikuasai mereka, terutama kosakata yang berhubungan dengan kata-kata yang digunakan sehari-hari. Memasuki tahun kedua, para siswa itu telah menguasai kosakata sejumlah 3000 kata. Penambahan kosakata setiap tahun sekitar 1000 kata, sehingga jumlah kosakata rata-rata bagi lulusan SMA sekitar 14000 kata, dan bagi mahasiswa sekitar 18000 sampai 29000 kata (Harris & Sipay dalam Zuchdi, 1995).
Dalam kaitan dengan
pengukuran keterbacaan suatu bacaan atau buku teks pelajaran untuk sekolah
dasar maka dapat dinyatakan bahwa formula SMOG dapat digunakan untuk
memprediksi kesesuaian peruntukan suatu bacaan sebelum bacaan tersebut
digunakan sebagai bahan ajar kepada para siswa sekolah dasar. Formula ini cukup
sederhana dan dapat digunakan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang
paling sedikit terdiri atas 10 kalimat.
Pengukuran
ahli atau guru terhadap keterbacaan suatu bahan bacaan hanya dapat dilakukan
jika penilai (assessor) menguasai materi pelajaran yang akan diukur dan
menguasai pula aspek-aspek kebahasaan yang digunakan dalam bacaan tersebut.
Hasil pengukuran ini dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keterbacaan,
sebelum digunakan sebagai bahan ajar kepada peserta didik.
Pengukuran keterbacaan berdasarkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan pertanyaan bacaan merupakan pengukuran yang realistis. Hasil pengukuran dengan cara ini menghasilkan keterbacaan yang sesuai dengan hasil pengukuran dari formula SMOG dan penilaian ahli. Pengukuran jenis ini dianggap hasil pengukuran yang paling sesuai, karena dilakukan secara langsung kepada siswa sebagai pemakainya. Hasil pengukuran ini dapat digunakan sebagai indikator dari suatu bacaan yang memiliki keterbacaan tinggi.
Pengukuran keterbacaan berdasarkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan pertanyaan bacaan merupakan pengukuran yang realistis. Hasil pengukuran dengan cara ini menghasilkan keterbacaan yang sesuai dengan hasil pengukuran dari formula SMOG dan penilaian ahli. Pengukuran jenis ini dianggap hasil pengukuran yang paling sesuai, karena dilakukan secara langsung kepada siswa sebagai pemakainya. Hasil pengukuran ini dapat digunakan sebagai indikator dari suatu bacaan yang memiliki keterbacaan tinggi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian dan
pembahasan di atas dapat diungkapkan beberapa hal menarik tentang perkembangan
bahasa Indonesia dalam konteks kajian keterbacaan sebagai berikut.
1. Keterpahaman kosakata bahasa Indonesia dalam buku teks
pelajaran ditentukan oleh seringnya kosakata tersebut didengar dan sudah
dikenal oleh siswa. Keterpahaman kalimat dalam buku teks pelajaran ditentukan
oleh tingkat keintiman dan kesederhanaan kalimat tersebut bagi siswa, jika
kalimat-kalimat dalam buku teks sudah sering dikenal oleh siswa atau disajikan
dengan susunan yang sederhana maka keterbacaan buku teks pelajaran tersebut
semakin tinggi. Keterpahaman paragraf dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh
letak pikiran utama atau gagasan pokok yang disajikan pada awal paragraf dan
ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut.
Keterpahaman teks atau bacaan buku terstandar pada umumnya tinggi, karena
menggunakan jenis wacana narasi, eksposisi, dan argumentasi. Keterpahaman
bacaan dalam buku teks pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) tinggi jika
menggunakan jenis wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan mata pelajaran
sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) menggunakan jenis wacana
narasi dan eksposisi.
2. Kemenarikan penyajian buku-buku teks pelajaran terstandar
adalah sangat tinggi, karena menggunakan gambar atau ilustrasi yang memperjelas
isi materi yang disajikan dan menggunakan huruf atau bacaan yang jelas dan
terbaca, serta bahasa yang mudah dipahami. Buku teks pelajaran yang menggunakan
bahasa Indonesia yang mudah dipahami, menggunakan jilid atau gambar berwarna,
menggunakan gambar dan ilustrasi yang dapat memperjelas isi, serta menggunakan
huruf yang terbaca dan jelas memiliki daya tarik yang menentukan keterbacaan
buku tersebut.
3. Kemudahan dalam memahami sistematika penyajian pun turut
menentukan keterbacaan buku teks pelajaran terstandar. Kemudahan dalam memahami
itu karena penyajian suatu materi tersebut disertai gambar, bahasa Indonesia
yang digunakan dikaitkan dengan pengetahuan siswa dan disesuaikan dengan
pengalaman siswa sebagai pengguna buku.
B.
Saran
Berdasarkan simpulan di
atas, pada bagian ini disampaikan saran
sebagai berikut:
Untuk meningkatkan perkembangan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan peserta didik diperlukan kajian-kajian keterbacaan buku teks pelajaran atau buku yang digunakan dalam pembelajaran. Selain itu, diperlukan pula peningkatan kualitas keterbacaan buku teks pelajaran terstandar. Hal yang tidak kalah penting, dalam mendorong perkembangan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan peserta didik diperlukan pula peningkatan kualitas profil membaca siswa. Oleh karena itu, seharusnya guru selalu memotivasi siswa untuk selalu membaca setiap hari, baik yang berhubungan dengan materi pelajaran maupun untuk mencari informasi dari koran, surat kabar, maupun internet. Dalam rangka meningkatkan intensitas membaca buku-buku cerita (fiksi), sebaiknya guru menyampaikan manfaat yang dapat diraih jika siswa melakukan kegiatan membaca jenis teks tersebut.
Untuk meningkatkan perkembangan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan peserta didik diperlukan kajian-kajian keterbacaan buku teks pelajaran atau buku yang digunakan dalam pembelajaran. Selain itu, diperlukan pula peningkatan kualitas keterbacaan buku teks pelajaran terstandar. Hal yang tidak kalah penting, dalam mendorong perkembangan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan peserta didik diperlukan pula peningkatan kualitas profil membaca siswa. Oleh karena itu, seharusnya guru selalu memotivasi siswa untuk selalu membaca setiap hari, baik yang berhubungan dengan materi pelajaran maupun untuk mencari informasi dari koran, surat kabar, maupun internet. Dalam rangka meningkatkan intensitas membaca buku-buku cerita (fiksi), sebaiknya guru menyampaikan manfaat yang dapat diraih jika siswa melakukan kegiatan membaca jenis teks tersebut.
1. Dalam rangka meningkatkan kegemaran siswa terhadap penggunaan
bahasa Indonesia seharusnya para pendidik mendorong pesrta didik untuk
mengurangi porsi menonton televisi dengan kegiatan membaca. Setiap hari,
seharusnya siswa dibekali kuis, latihan, atau kegiatan yang dapat mendorong
mereka meningkatkan porsi membaca agar profil membaca para siswa sekolah dasar
semakin baik.
2. Untuk meningkatkan kualitas penggunaan bahasa Indonesia,
khususnya keterbacaan buku teks pelajaran, sebaiknya jika penulis atau penerbit
akan melakukan revisi buku tersebut dapat mengganti penggunaan kosakata yang
jarang didengar dan belum dikenal oleh siswa; mengganti penggunaan kalimat yang
belum intim dengan siswa dan kalimat yang kompleks; menata kembali
paragraf-paragraf yang dapat diubah menjadi paragraf deduktif dan melengkapinya
dengan gambar dan ilustrasi; menyesuaikan bentuk wacana dengan jenis wacana
yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin, Yunus. (2010). Strategi Membaca Teori dan
Pembelajaran. Bandung: RIZQI Press
Bernhardt, E.B. 1991. Reading development in a second
language: Theoretical, empirical, and classroom perspectives. Norwood, NJ:
Ablex.
British Council. 1995a. Education in Indonesia. Jakarta: The
British Council.
Chall, J.S. & Dale, E. 1995. Readability revisited: the new Dale-Chall readability formula. Cambridge, Massachusetts: Brookline Books.
Chall, J.S. & Dale, E. 1995. Readability revisited: the new Dale-Chall readability formula. Cambridge, Massachusetts: Brookline Books.
Goodman, K.S. 1982. Reading: A psycholinguistic guessing game.
In K.S. Goodman, Language and literacy: The selected writings of Kenneth S.
Goodman Vol. 1, pp. 173-183. Boston: Routledge & Kegan Paul.
Gilliland, John. 1972. Readability. London: Holder and
Stroughton.
Harrison, C. 1980. Readability in the classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Harrison, C. 1980. Readability in the classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Klare, G.R. 1984. Readability: Handbook of Reading Research.
New York: Longman Inc.
Pusat Perbukuan. 2002. Pedoman Pengembangan Standar
Perbukuan. Departemen Pendidikan Nasional.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan
Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.
Rusyana, Yus dan Suherli (2004) Studi Keterbacaan Buku
Pelajaran Sekolah Dasar. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Schrock, Kathleen. 1995. Elementary Reading Instruction. The
McGraw-Hil Company. [tersedia] http://school.discovery.com (9
Desember 2017)
Tampobolon. 1991. Mengembangkan Minat dan Kebiasaan Membaca
pada Anak.Bandung: Angkasa.
Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Perbukuan (2005)
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 tahun 2005 tentang Buku Teks
Pelajaran.
No comments:
Post a Comment