Wednesday 7 November 2018

MAKALAH KETERBACAAN BUKU SISWA KELAS RENDAH


KETERBACAAN
BUKU SISWA KELAS RENDAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Pengertian
Keterbacaan  merupakan alih bahasa dari (readability). Bentuk readability merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar “readable”, artinya “dapat dibaca” atau “terbaca”. Keterbacaan adalah ihwal terbaca tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya (A. Hardjasujana dan Mulyati, 1996:106). 
Jadi, keterbacaan mempersoalkan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu.
Keterbacaan adalah pengukuran tingkat kesulitan sebuah buku atau wacana secara objektif. Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dengan peringkat kelas. Setelah diukur tingkat keterbacaan suatu bahan bacaan maka akan diketahui apakah bahan tersebut sesuai untuk tingkat kelas tertentu.
Menurut Tampubolon (1990:213), secara umum dapat dikatakan bahwa keterbacaan (readability) ialah sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari tingkat kesukarannya. Keterbacaan dapat pula diartikan perihal terbaca tidaknya sebuah buku teks oleh pembaca tertentu.

B.     Ciri-ciri khusus
karakteristik buku teks pelajaran kelas rendah adalah:
1.      Memiliki landasan keilmuan yang jelas dan mutakhir;
2.      Berisi materi yang memadai, bervariasi, mudah dibaca, dan sesuai dengan kebutuhan siswa;
3.      Disajikan secara sistematis, logis, dan teratur;
4.      Meningkatkan minat siswa untuk belajar;
5.      Berisi materi yang membantu siswa untuk memecahkan masalah keseharian;
6.      Memuat materi refleksi dan evaluasi diri untuk mengukur kompetensi yang telah dan akan dipelajari.

C.    Tujuan
Kajian keterbacaan ini dilakukan untuk mengetahui keterbacaan berdasarkan interaksi pembaca (siswa) dengan buku teks pelajaran Sekolah Dasar berstandar Nasional. Untuk mendapatkan informasi itu, terlebih dahulu dikaji profil pembaca (siswa) Sekolah Dasar di Indonesia. Fokus kajian ini adalah mengetahui keterbacaan buku teks pelajaran yang telah dinyatakan memenuhi standar nasional, terutama berdasarkan keterpahaman dan kemenarikan buku ditinjau dari kondisi siswa Sekolah Dasar di Indonesia. Selain itu, keterbacaan buku teks pelajaran tersebut ditinjau pula berdasarkan tanggapan dan pengalaman guru dalam menggunakan buku teks pelajaran dalam kegiatan pembelajaran.
Dalam hal keterbacaan berdasarkan kondisi siswa, data dikaji berdasarkan karakteristik siswa ditinjau dari (1) jenis buku teks pelajaran yang digunakan dalam mata pelajaran b.indonesia; (2) kewilayahan (Indonesia bagian Barat dan Timur); (3) tingkatan pendidikan (kelas rendah/kelas 1 dan 3); serta (3) berdasarkan jenis kelamin siswa (laki-laki dan perempuan).

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pembahasan
1.      Pengertian Keterbacaan
Untuk memperoleh bahan ajar membaca, guru harus mampu memilih bahan ajar bacaan yang layak untuk para siswanya. Hal ini merupakan hal yang tidak dapat diabaikan, terlebih bagi huru bahasa Indonesia, karena secara formal pengajaran membaca dibebankan pada guru bidang studi bahasa Indonesia. Dikemukakan Harjasujanadan Yeti Mulyati (1997:105) bahwa “buku paket, buku teks sebagai pegangan dasar dalam melaksankan kegiatan belajar ini sangat banyak jumlahnya, namun tidak berarti guru harus terpaku dengan satu macam bahan ajar yang ada.  jadi, dengan menentukan bahan jar bacaan yang cocok dan layak digunakan siswa dan guru harus mempu memilihkan bahan bacaan yang layak baca untuk para siswanya, salah satunya guru harus memahami kriteria penentuan kelayakan bahan bacaan itu dengan menentukan tingkat keterbacaan sebuah bacaan atau wacana.
Sebagaimana penulis kemukakan bahwa untuk menentukan tingkat kelayakan sebuah wacana dapat dibaca siswa, kita dapat menganalisisnya dengan karakteristik keterbacaan. Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997:106) mengemukakan bahwa, Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang. Keterbacaan merupakan alih bahasa dari redabality. Bentuk readability merupakan kata tuunan yang dibentuk oleh bentuk dasar “readable” dapat dibaca atau terbaca. Konfiks ke-an pada bentuk keterbacaan mengandung arti “hal yang berkenaan” denagn apa yang disebut dalam bentuk dasarnya. Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan “keterbacaan” sebagai hal ihwal terbaca tidaknya suatu bahn bacaan tertentu oleh pembacanya. Jadi, keterbacaan ini mempersolakan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Keterbacaan (redability merupakan ukuran sesuai tidaknya suatu abhan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya.
Keterbacaan merupakan padanan redability dalam bahasa inggris. Istilah ini diartikan Harjasujana, dkk. (1999:10) yaitu:
a.       Kemudahan tipografi atau tulisan tangan,
b.      Kemudahan membaca yang disebabkan oleh daya tarik bahan bacaan dan tingkat minat baca atau,
c.       Kemudahan memahami bahan bacaan yang disebabkan kecerdasan bahasanya.
Sakri dalam Harjasujana dkk. (1999:11) menjelaskan bahwa,
Keterbacaan mertupakan antara ketedasan dan kejelahan. Ketedasan berhubungan dengan keterbacaan bahasa, sedangkan kejelahan berhubungan dengan keterbacaan tata huruf. Baik ketedasan mapun kejelahan ditentukan oleh banyak faktor. Berbagai faktor yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah ihwal ketedasan. Tata huruf dan daya tarik wacana hanya disingggung pada waktu diperlukan untuk melancarkan pembicaraan.
Keterbacaaan (redability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bahan bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya.
Uraian di atas penulis simpulkan bahwa tingkat keterebacaan dapat diartikan sebagai tingkat kesulitan atau kemudahan wacana. Faktor yang paling utama mempengaruhi keterbacaan ada dua hal, yakni panjang pendeknya kalimat dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah huruf dan kalimat yang membentuknya.

B.     Sintaks
1.    Keterbacaan Berdasarkan Karakteristik Siswa
Dalam melakukan interaksi antara bacaan (berbahasa Indonesia) berdasarkan keterpahaman kosakata, kalimat, paragraf, jenis teks/bacaan; kemenarikan buku teks pelajaran; dan kemudahan dalam memahami sistematika penyajian diketahui sebagai berikut.

a.       Keterpahaman Kosakata
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan kosakata dalam buku teks pelajaran bergantung pada pengenalan mereka terhadap kosakata itu. Artinya, pemahaman mereka akan baik jika kosakata yang digunakan dalam buku Bahasa Indonesia, Sains, dan Pengetahuan Sosial itu secara berurutan sering didengar, kosakata tersebut sudah dikenal dan sering digunakan. Ini menunjukkan bahwa kondisi siswa SD pada umumnya memahami kosakata itu karena mereka sering mendengar, mengenal, dan sering menggunakan kosakata tersebut.
b.      Keterpahaman Kalimat
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan kalimat dalam buku teks pelajaran bergantung pada keintiman kalimat tersebut dengan siswa. Artinya, jika kalimat-kalimat itu sudah sering dikenal oleh siswa maka akan semakin tinggi keterbacaan buku teks pelajaran tersebut.
Hal yang harus diperhatikan bahwa keterbacaan buku teks pelajaran ditentukan pula oleh kesederhanaan kalimat yang digunakan. Semakin sederhana kalimat yang disusun dalam buku teks pelajaran maka akan semakin tinggi pula keterbacaan buku teks tersebut. Apabila dalam buku teks tersebut digunakan kalimat yang sulit atau belum dikenal siswa, maka keterbacaannya menjadi rendah. Namun, akan menjadi tinggi keterbacaannya jika kalimat tersebut diikuti dengan kalimat-kalimat atau uraian yang berfungsi sebagai penjelas serta kalimat tersebut sering didengar oleh para siswa.
c.       Keterpahaman Paragraf
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan paragraf dalam buku teks pelajaran bergantung pada letak gagasan utama dalam paragraf tersebut. Apabila dalam suatu paragraf menempatkan gagasan utama pada awal paragraf maka siswa lebih dapat memahami paragraf tersebut. Artinya, paragraf-paragraf yang disusun dengan menempatkan gagasan pokok atau pikiran utama pada awal paragraf lebih dapat dipahami siswa makna paragraf tersebut dan memiliki keterbacaan tinggi. Tingkat keterbacaan juga sangat ditentukan oleh ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Dengan demikian, selain menempatkan pikiran utama atau gagasan utama pada awal paragraf, kehadiran gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut dapat mempertinggi keterpahaman siswa terhadap paragraf yang digunakan.
d.      Keterpahaman Bacaan
Pada umumnya teks atau wacana yang digunakan dalam buku terstandar nasional dapat dipahami. suatu teks/bacaan mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan bentuk wacana eksposisi dan narasi atau argumentasi.
Hal yang sangat menarik adalah jika ditinjau berdasarkan jenis mata pelajaran, diketahui bahwa kelompok mata pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) bacaan yang mudah dipahami jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan untuk kelompok mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi.
Apabila ditinjau berdasarkan tingkatan pendidikan, diketahui bahwa tingkat kemudahan dalam memahami teks/bacaan, maka berdasarkan siswa kelas rendah (1-3) suatu bacaan dianggap mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi.
e.       Kemenarikan Penyajian Buku Teks Pelajaran
Berdasarkan kajian diketahui bahwa buku teks terstandar pada umumnya sangat menarik yang menjadi responden. Adapun ketika dikonfirmasi kepada siswa alasan pernyataan tersebut dinyatakan bahwa buku teks pelajaran terstandar menarik karena menggunakan gambar atau ilustrasi yang memperjelas isi materi yang disajikan dan menggunakan huruf/bacaan yang jelas dan terbaca, serta bahasa yang mudah dipahami.
Kemenarikan buku teks pelajaran terstandar jika ditinjau berdasarkan karakteristik responden, alasan tersebut hampir sama, kecuali ketika responden diklasifikasikan berdasarkan tingkatan kelas. responden kelas rendah (1-3) karena menggunakan gambar yang memperjelas isi dan menggunakan huruf yang terbaca dan jelas.
f.       Kemudahan Memahami Sistematika Penyajian
Berdasarkan sistematika penyajian buku teks pelajaran terstandar diketahui bahwa pada umumnya buku teks pelajaran itu mudah dipahami karena penyajian suatu materi tersebut disertai gambar, dikaitkan dengan pengetahuan siswa, dan disesuaikan dengan pengalaman siswa. Namun, apabila ditinjau berdasarkan jenis pelajaran diperoleh informasi bahwa penyajian buku teks pelajaran Bahasa Indonesia mudah dipahami karena materinya disesuaikan dengan pengalaman siswa. Penyajian buku teks pelajaran Pengetahuan Sosial dan Sains dianggap mudah dipahami karena penyajian materinya disertai gambar. Sementara itu, buku teks pelajaran Matematika dianggap mudah dipahami karena penyajian materi dalam buku tersebut dikaitkan dengan pengetahuan siswa.

C.    Contoh penerapan
Hasil studi keterbacaan yang dilaksanakan oleh Tim Pusat Perbukuan tahun 2003-2004 menyimpulkan bahwa ciri-ciri penting dari suatu buku teks pelajaran untuk sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi dapat dilihat dari penggunaan aspek wacana, paragraf, kalimat, pilihan kata, dan pertanyaan atau latihan-latihan dalam buku teks pelajaran tersebut. Berdasarkan kajian terhadap aspek wacana, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi untuk siswa kelas satu sampai dengan kelas tiga jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek paragraf dari penelitian itu, diketahui bahwa buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi adalah buku pelajaran yang disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif. Paragraf induktif dapat digunakan dalam meningkatkan pemahaman siswa kelas empat, lima, dan enam jika digunakan dalam wacana narasi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek kalimat, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa kelas dua dan tiga adalah jika kalimat-kalimat yang digunakannya berupa kalimat sederhana, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam dapat menggunakan kalimat luas yang dapat meningkatkan pemahamannya secara lebih baik. Jika wacana yang digunakannya adalah wacana argumentasi, maka kalimat-kalimat sederhana dalam wacana tersebut dapat meningkatkan keterbacaan suatu buku pelajaran.
Berdasarkan kajian terhadap aspek penggunaan kata atau pilihan kata maka buku pelajaran sekolah dasar untuk siswa kelas satu sampai dengan tiga yang memiliki keterbacaan tinggi jika pada buku tersebut digunakan kosakata sederhana, memiliki sukukata sederhana, dan kosakatanya berhubungan dengan konteks social siswa. Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sebaiknya menghindari penggunaan istilah-istilah khusus, asing atau bermakna konotatif.
Berdasarkan kajian terhadap pertanyaan bacaan atau latihan dalam buku teks pelajaran, diketahui bahwa buku pelajaran untuk sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas tiga sebaiknya menggunakan pertanyaan bacaan berbentuk isian terbatas, rumpang kata, atau melengkapi sebuah kata dalam konteks kalimat. Sementara itu, pertanyaan atau latihan untuk siswa kelas empat sampai dengan kelas enam dapat menggunakan pertanyaan, perintah, atau latihan yang menuntut pengembangan kemampuan berpikir logis dan kemampuan berpikir abstrak. 

D.    Cara mengukur tingkat keterbacaan
Gilliland (1972) menyebutkan lima cara mengukur tingkat keterbacaan, yakni penilaian subjektif, tanya jawab, formula keterbacaan, grafik & Carta, dan teknik cloze. Penilaian subjektif dilakukan oleh sejumlah orang tertentu –seperti guru, pustakawan, editor, dan kelompok pembaca berdasarkan pengamatan atas isi, pola, kosakata, format dan pengorganisasian suatu bacaan. Oleh karena sifatnya subjektif, keabsahan hasil penilaiannya bergantung pada keandalan para penilai. Jika penilai memiliki pengetahuan yang memadai tentang aspek-aspek keterbacaan, maka hasil penilaian biasanya memiliki validitas yang baik.
Penelitian tentang keterbacaan buku sudah berlangsung sejak tahun 1920-an, antara lain dilakukan oleh Lively dan Pressey yang menemukan formula keterbacaan berdasarkan struktur kata dan kalimat serta makna kata yang diukur dari frekuensi dan kelaziman pemakaiannya (Klare, 1984). Dale (dalam Tarigan, 1985) meneliti jumlah kosakata yang digunakan oleh anak-anak pembelajar pemula di Amerika Serikat. Sebanyak 1500 kata telah dikuasai mereka, terutama kosakata yang berhubungan dengan kata-kata yang digunakan sehari-hari. Memasuki tahun kedua, para siswa itu telah menguasai kosakata sejumlah 3000 kata. Penambahan kosakata setiap tahun sekitar 1000 kata, sehingga jumlah kosakata rata-rata bagi lulusan SMA sekitar 14000 kata, dan bagi mahasiswa sekitar 18000 sampai 29000 kata (Harris & Sipay dalam Zuchdi, 1995).
Dalam kaitan dengan pengukuran keterbacaan suatu bacaan atau buku teks pelajaran untuk sekolah dasar maka dapat dinyatakan bahwa formula SMOG dapat digunakan untuk memprediksi kesesuaian peruntukan suatu bacaan sebelum bacaan tersebut digunakan sebagai bahan ajar kepada para siswa sekolah dasar. Formula ini cukup sederhana dan dapat digunakan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang paling sedikit terdiri atas 10 kalimat.
Pengukuran ahli atau guru terhadap keterbacaan suatu bahan bacaan hanya dapat dilakukan jika penilai (assessor) menguasai materi pelajaran yang akan diukur dan menguasai pula aspek-aspek kebahasaan yang digunakan dalam bacaan tersebut. Hasil pengukuran ini dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keterbacaan, sebelum digunakan sebagai bahan ajar kepada peserta didik.
Pengukuran keterbacaan berdasarkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan pertanyaan bacaan merupakan pengukuran yang realistis. Hasil pengukuran dengan cara ini menghasilkan keterbacaan yang sesuai dengan hasil pengukuran dari formula SMOG dan penilaian ahli. Pengukuran jenis ini dianggap hasil pengukuran yang paling sesuai, karena dilakukan secara langsung kepada siswa sebagai pemakainya. Hasil pengukuran ini dapat digunakan sebagai indikator dari suatu bacaan yang memiliki keterbacaan tinggi.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan di atas dapat diungkapkan beberapa hal menarik tentang perkembangan bahasa Indonesia dalam konteks kajian keterbacaan sebagai berikut.
1.      Keterpahaman kosakata bahasa Indonesia dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh seringnya kosakata tersebut didengar dan sudah dikenal oleh siswa. Keterpahaman kalimat dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh tingkat keintiman dan kesederhanaan kalimat tersebut bagi siswa, jika kalimat-kalimat dalam buku teks sudah sering dikenal oleh siswa atau disajikan dengan susunan yang sederhana maka keterbacaan buku teks pelajaran tersebut semakin tinggi. Keterpahaman paragraf dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh letak pikiran utama atau gagasan pokok yang disajikan pada awal paragraf dan ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Keterpahaman teks atau bacaan buku terstandar pada umumnya tinggi, karena menggunakan jenis wacana narasi, eksposisi, dan argumentasi. Keterpahaman bacaan dalam buku teks pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) tinggi jika menggunakan jenis wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) menggunakan jenis wacana narasi dan eksposisi.
2.      Kemenarikan penyajian buku-buku teks pelajaran terstandar adalah sangat tinggi, karena menggunakan gambar atau ilustrasi yang memperjelas isi materi yang disajikan dan menggunakan huruf atau bacaan yang jelas dan terbaca, serta bahasa yang mudah dipahami. Buku teks pelajaran yang menggunakan bahasa Indonesia yang mudah dipahami, menggunakan jilid atau gambar berwarna, menggunakan gambar dan ilustrasi yang dapat memperjelas isi, serta menggunakan huruf yang terbaca dan jelas memiliki daya tarik yang menentukan keterbacaan buku tersebut.
3.      Kemudahan dalam memahami sistematika penyajian pun turut menentukan keterbacaan buku teks pelajaran terstandar. Kemudahan dalam memahami itu karena penyajian suatu materi tersebut disertai gambar, bahasa Indonesia yang digunakan dikaitkan dengan pengetahuan siswa dan disesuaikan dengan pengalaman siswa sebagai pengguna buku.

B.     Saran
Berdasarkan simpulan di atas, pada bagian  ini disampaikan saran sebagai berikut:
Untuk meningkatkan perkembangan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan peserta didik diperlukan kajian-kajian keterbacaan buku  teks pelajaran atau  buku  yang digunakan dalam pembelajaran. Selain itu, diperlukan pula peningkatan kualitas keterbacaan buku teks pelajaran terstandar. Hal yang tidak kalah penting, dalam mendorong perkembangan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan peserta didik diperlukan pula peningkatan kualitas profil membaca siswa. Oleh karena itu, seharusnya guru selalu memotivasi siswa untuk selalu membaca setiap hari, baik yang berhubungan dengan materi pelajaran maupun untuk mencari informasi dari koran, surat kabar, maupun internet. Dalam rangka meningkatkan intensitas membaca buku-buku cerita (fiksi), sebaiknya guru menyampaikan manfaat yang dapat diraih jika siswa melakukan kegiatan membaca jenis teks tersebut.
1.      Dalam rangka meningkatkan kegemaran siswa terhadap penggunaan bahasa Indonesia seharusnya para pendidik mendorong pesrta didik untuk mengurangi porsi menonton televisi dengan kegiatan membaca. Setiap hari, seharusnya siswa dibekali kuis, latihan, atau kegiatan yang dapat mendorong mereka meningkatkan porsi membaca agar profil membaca para siswa sekolah dasar semakin baik.
2.      Untuk meningkatkan kualitas penggunaan bahasa Indonesia, khususnya keterbacaan buku teks pelajaran, sebaiknya jika penulis atau penerbit akan melakukan revisi buku tersebut dapat mengganti penggunaan kosakata yang jarang didengar dan belum dikenal oleh siswa; mengganti penggunaan kalimat yang belum intim dengan siswa dan kalimat yang kompleks; menata kembali paragraf-paragraf yang dapat diubah menjadi paragraf deduktif dan melengkapinya dengan gambar dan ilustrasi; menyesuaikan bentuk wacana dengan jenis wacana yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Yunus. (2010). Strategi Membaca Teori dan Pembelajaran. Bandung: RIZQI Press

Bernhardt, E.B. 1991. Reading development in a second language: Theoretical, empirical, and classroom perspectives. Norwood, NJ: Ablex.

British Council. 1995a. Education in Indonesia. Jakarta: The British Council.
Chall, J.S. & Dale, E. 1995. Readability revisited: the new Dale-Chall readability formula. Cambridge, Massachusetts: Brookline Books.

Goodman, K.S. 1982. Reading: A psycholinguistic guessing game. In K.S. Goodman, Language and literacy: The selected writings of Kenneth S. Goodman Vol. 1, pp. 173-183. Boston: Routledge & Kegan Paul.

Gilliland, John. 1972. Readability. London: Holder and Stroughton.
Harrison, C. 1980. Readability in the classroom. Cambridge: Cambridge University Press.

Klare, G.R. 1984. Readability: Handbook of Reading Research. New York: Longman Inc.

Pusat Perbukuan. 2002. Pedoman Pengembangan Standar Perbukuan. Departemen Pendidikan Nasional.

Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.

Rusyana, Yus dan Suherli (2004) Studi Keterbacaan Buku Pelajaran Sekolah Dasar. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.

Schrock, Kathleen. 1995. Elementary Reading Instruction. The McGraw-Hil Company. [tersedia] http://school.discovery.com (9 Desember 2017)

Tampobolon. 1991. Mengembangkan Minat dan Kebiasaan Membaca pada Anak.Bandung: Angkasa.

Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Perbukuan (2005) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran.

No comments:

Post a Comment