Wednesday 7 November 2018

MAKALAH KETERBACAAN BUKU SISWA KELAS TINGGI


BAB I
PENDAHULUAN


1.1         Latar Belakang

Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, ada beberapa komponenm yang harus diperhatikan, seperti kebijakan pendidikan, tenaga pengajar, sarana prasarana pendidikan, dan sebagainya. Semua komponen tersebut mendukung proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah. Dalam pelaksanaan di lapangan, proses pembelajaran tersebut akan berlangsung dengan baik jika ditunjang (salah satunya) oleh buku teks yang baik
Buku teks memiliki fungsi yang penting dalam proses pembelajaran disekolah dasar. Selain sebagai acuan dalam pelaksanaan pembelajaran, buku teks juga berfungsi sebagai sumber informasi dan pengetahuan bagi siswa. Selain itu, buku teks juga berisi rambu-rambu kompetensi ideal yang harus dicapai oleh siswa. Mengingat fungsi dan peran penting buku teks dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, penyusunan buku teks harus dilakukan dengan penuh ketelitian dan kehati-hatian. Ketelitian baik dari segi isi informasi maupun dari segi kebahasaannya.
Oleh karena alasan itulah, Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kemdikbud menetapkan tiga aspek yang harus mendapatkan perhatian penulis terkait dengan penulisan buku teks. Aspek tersebut antara lain: materi, penyajian, dan keterbacaan. Aspek materi berkaitan dengan kelengkapan materi sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Aspek penyajian menyangkut organisasi penyajian buku teks itu sendiri dan harus mempertimbangkan kesetaraan gender. Aspek keterbacaan berkaitan dengan peristilahan, kejelasan bahasa, dan kesesuaian bahasa dengan perkembangan anak (Ruwanto, 2013).
Aspek keterbacaan merupakan aspek yang seringkali kurang mendapatkan perhatian dari penulis buku teks. Penggunaan istilah dan susunan kalimat yang rumit kadang digunakan penulis tanpa memertimbangkan usia dan jenjang kognisi siswa. Selain itu, teks-teks yang digunakan juga kadang memiliki tingkat kekompleksitasan yang tinggi. Hal ini menyebabkan siswa kurang memahami materi dan informasi yang terdapat pada bahan bacaan. Padahal, hampir semua materi dalam buku teks disajikan dalam bentuk teks bacaan. Apalagi Kurikulum 2013 saat ini berbasis teks. Artinya, siswa dituntut untuk memahami dan menghasilkan teks bacaan dan bahasa.
Dunia anak sekolah dasar  jelas berbeda dengan dunia orang dewasa. Hal ini adalah kesulitan utama dalam penyusunan teks untuk anak. Banyak aspek yang harus diperhatikan. Adapun aspek terpenting dalam penyusunan teks anak ini diantaranya adalah bahasa dan ruang lingkup daya tangkap anak-anak (Liotohe, 1991: 14).
Menurut Chaer (2012:53) menyatakan adanya keterkaitan bahasa dengan manusia yang bersifat dinamis. Perubahan bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan manusia dalam masyarakat tidak tetap sehingga bahasa menjadi tidak tetap oleh karena itu bahasa bersifat dinamis
Salah satu teks anak yang penting untuk diperhatikan dikelas tinggi sekolah dasar dan ditinjau adalah teks pada buku paket sekolah atau buku teks sekolah. Buku teks sekolah memiliki peran yang penting dalam kegiatan belajar - mengajar di kelas. Buku teks berfungsi sebagai sumber informasi dan sarana peununjang kegiatan belajar-mengajar. Oleh karena itu buku teks pelajaran kurikulum 2013 yang diberi ke siswa harus sesuai dengan kemampuan anak kelas tinggi seperti kelas empat, lima dan enam. Maksudnya keterbacan siswa dalam kelas tinggi harus lebih mudah dipahami dan di mengerti oleh siswa.
Keterbacaan dalam ruang lingkup sekolah dasar khususnya kelas tinggi memerlukan pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang. Keterbacaan merupakan ukuran tentang sesuai atau tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Makalah ini akan membahas mengenai pengertian keterbacaan, pentingnya keterbacaan, faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan di kelas tinggi sekolah dasar khususnya empat, lima dan enam.

1.2              Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalahnya tentang keterbacaan buku kelas tinggi  adalah sebagai berikut :
1.          Apa itu keterbacaan
2.           Bagaimana pentingnya keterbacaan untuk kelas tinggi?
3.            Apa saja faktor keterbacaan?

1.3  Tujuan
       Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuannya adalah untuk :
1.          Mengetahui pengertian keterbacaan.
2.          Mengetahui pentingnya keterbacaan dikelas tinggi
3.          Mengetahui faktor-faktor keterbacaan


BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Pengertian Keterbacaan
Keterbacaan merupakan alih bahasa dari (readability). Bentuk readability meru-pakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar “readable”, artinya “dapat dibaca” atau “terbaca”. Keterbacaan adalah ihwal terbaca tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya (A. Hardjasujana dan Mulyati, 1996:106).  Jadi, keterbacaan mempersoalkan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu.
Sesuai atau tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukarannya. Dikatakan sesuai jika bacaannya tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah atau sedang. Dikatakan tidak sesuai jika bacaannya sukar atau mudah. Jika bacaan terlalu sukar, pembaca terpaksa membaca dengan lambat, bahkan berulang-ulang untuk memahami bacaan yang dibaca. Ia akan tidak sabar, malas, bahkan frustasi sehingga tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Sebaliknya, bacaan yang terlalu mudah akan membuat pembaca bosan atau meremehkan karena tidak ada tantangan, merasa tidak berguna, dan atau merasa sudah bisa atau tahu.
Menurut Tampubolon (1990:213), secara umum dapat dikatakan bahwa keterba-caan (readability) ialah sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari tingkat kesukarannya. Keterbacaan dapat pula diartikan perihal terbaca tidak-nya sebuah buku teks oleh pembaca tertentu.
Keterbacaan di lingkungan sekolah dasar khususnya kelas tinggi (empat, lima dan enam)  sangat berbeda dengan anak smp dan sma. Dikatakan tidak sesuai karena keterbacaan kelas tinngi sangatlah masih susah membaca teks bacaan yang agak rumit dan yang agak susah. Hal inilah yang membuat keterbacaan sangatlah susah di kalangan kelas tinggi khusunya kelas (empat, lima dan enam).
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa keterbacaan berkaitan dengan pemahaman. Bacaan yang memenuhi kesesuaian keterbacaan ialah bacaan yang dapat dipahami oleh pembaca. Bacaan yang tidak bisa atau sulit dipahami pembaca merupakan bacaan yang tidak memenuhi kesesuaian keterbacan. Bacaan yang terlalu mudah dipahami pembaca juga merupakan bacaan yang tidak memenuhi kesesuaian keterbacan. Oleh karena itu, setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, seorang guru akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut yang dapat digunakan untuk kelas tertentu. Faktor yang paling utama mempengaruhi keterbacaan ada dua hal, yakni panjang pendeknya kalimat dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah huruf dan penyataan yang membentuknya.
2.2         Keterbacaan untuk Kelas Tinggi
Sebuah bacaan (buku teks) yang memiliki tingkat keterbacaan tinggi akan mempengaruhi pembacanya. Menurut Sulastri (2008:3) bacaan yang tingkat keterbacaannya tinggi dapat meningkatkan minat belajar, menambah kecepatan dan efisiensi membaca. Selain itu juga dapat memelihara kebiasaan membaca para pembacanya karena mereka merasa dapat memahami wacananya dengan mudah. Oleh sebab itu, mengetahui tingkat keterbacaan wacana khususnya buku teks pelajaran Bahasa Indonesia memang diperlukan karena banyak manfaat yang didapat dari informasi tingkat keterbacaan buku tersebut.
Keterbacaan buku teks khususnya buku teks Bahasa Indonesia perlu diketahui agar seorang guru dapat memilih buku teks yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswanya. Siswa yang aktif dapat diketahui bila mana mereka bisa membaca secara lancar. Untuk kelas empat biasanya mereka membaca dengan menggunakan bahasa yang sesuai EYD, karena jika mereka membaca yang teks bacaannya yang rumit maka mereka susah untuk mengerti tentang apa yg ia baca. Sedangkan kelas lima mereka bisa memahami teks bacaan bila mana membaca dengan intonasi nada yg sangat rendah, intonasi nada sangatlah berperan penting dalam memahami siswa dalam membaca, dan tingkat membaca siswa kelas lima masih bisa dibilang hampir sempurna. Hal ini berbeda dengan kelas enam, kelas enam sudah bisa memahami teks bacaan yang hampir sulit namun ia bisa mengerti tentang apa yang ia baca. Maka dari itu  inilah bedanya teks bacaan yang ada dalam kurikulum 2013.
 Jika tingkat keterbacaan sebuah buku teks sudah diketahui, maka kegiatan belajar mengajar dapat berjalan lebih lancar dengan bantuan buku ajar yang dapat dipahami dengan mudah oleh siswa. Siswa dapat memahami materi yang ada di buku dengan tanpa bimbingan dari guru.
Pengetahuan dibagun melalui keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar sambil melakukan tindakan (learning by doing). Keberhasilan pembelajaran tidak terletak pada seberapa banyak materi atau informasi yang disampaikan guru kepada siswa. Siswa sebagai penerima informasi dengan melibatkannya secara aktif dan belajar sehingga guru dapat mengetahui ukuran keberhasilan siswa. (Solchan 2009:1.24)
Berdasarkan kajian terhadap aspek penggunaan kata atau pilihan kata maka buku pelajaran sekolah dasar untuk siswa kelas satu sampai dengan tiga yang memiliki keterbacaan tinggi jika pada buku tersebut digunakan kosakata sederhana, memiliki sukukata sederhana, dan kosakatanya berhubungan dengan konteks social siswa. Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sebaiknya menghindari penggunaan istilah-istilah khusus, asing atau bermakna konotatif.
Hal ini bacaan atau latihan dalam buku teks pelajaran, diketahui bahwa buku pelajaran untuk sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas tiga sebaiknya menggunakan pertanyaan bacaan berbentuk isian terbatas, rumpang kata, atau melengkapi sebuah kata dalam konteks kalimat. Sementara itu, pertanyaan atau latihan untuk siswa kelas empat sampai dengan kelas enam dapat menggunakan pertanyaan, perintah, atau latihan yang menuntut pengembangan kemampuan berpikir logis dan kemampuan berpikir abstrak. 
BSNP telah menetapkan “keterbacaan” sebagai salah satu dari lima aspek yang dijadikan standar penilaian buku pelajaran yang baik. Ini menandakan bahwa faktor keterbacaan wacana harus menjadi perhatian utama dalam penulisan wacana, terutama untuk bahan ajar dan buku pelajaran. Kita menyadari bahwa buku pelajaran adalah media pembelajaran yang dominan peranannya di kelas. Oleh karena itu, buku pelajaran harus dirancang dengan baik dan benar dengan memperhatikan kelima standar yang ditetapkan itu.
Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22/2007 maka buku pelajaran yang dipakai di setiap sekolah seharusnya memenuhi standar kelayakan tersebut. Khusus mengenai keterbacaan, tentulah diharapkan kiranya wacana-wacana yang tersaji dalam buku pelajaran selalu memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi bagi siswa yang akan membacanya.
Berkaitan dengan itu dapat disimpulkan bahwa bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi akan mempengaruhi pembacanya. Bacaan seperti ini dapat meningkatkan minat belajar, menambah kecepatan dan efisiensi membaca. Tidak hanya itu, bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan tinggi biasanya dapat memelihara kebiasaan membaca para pembacanya karena mereka merasa dapat memahami wacana seperti itu dengan mudah. Hal inilah yang dimaksud dengan keterbacaan yang ada pada kelas tinggi khususnya empat, lima dan enam.

2.3         Faktor Keterbacaan
Buku teks pelajaran juga harus menyajikan tujuan pembelajaran, mengatur gradasi dan seleksi bahan ajar, mengurutkan penugasan kepada siswa, memerhatikan hubungan antarbahan, dan hubungan teks dengan latihan dan soal. Penyajian ini hendaknya dapat meningkatkan motivasi siswa, mengarah pada penguasaan kompetensi, saling berkaitan sehingga bahan yang satu dapat mengingatkan bahan yang lainnya (recalling prerequisite), memanfaatkan umpan balik (feedback) dan refleksi diri (self-reflection).
Buku teks pelajaran hendaknya juga mampu menyampaikan bahan ajar itu dalam bahasa yang baik dan benar. Aspek keterbacaan berkaitan dengan tingkat kemudahan bahasa (kosakata, kalimat, paragraf, dan wacana) bagi siswa sesuai dengan jenjang pendidikannya, yakni hal-hal yang berhubungan dengan kemudahan membaca bentuk tulisan atau topografi, lebar spasi dan aspek-aspek grafika lainnya, kemenarikan bahan ajar sesuai dengan minat pembaca, kepadatan gagasan dan informasi yang ada dalam bacaan, dan keindahan gaya tulisan, serta kesesuaian dengan tata bahasa baku.
Untuk mengenal sebagian dari faktor-faktor dimaksud dalam kelas tinggi disekolah dasar yaitu,  faktor kebahasaan  dalam  teks, latar  belakang  pengetahuan  pembaca dan minat pembaca,  dan motivasi pembaca.  Dalam hubungannya dengan faktor kebahasaan  seperti  yang yang sering terjadi di kelas empat, lima dan enam dalam kurikulum 2013 meliputi ,kekomplekan ide dan bahasa yang terdapat dalam wacana, dan jenis kata yang  digunakan dalam wacana tersebut. Sehingga kesulitan siswa dalam bacaan buku kurikulum 2013 dapat diketahui dari pejelasan tersebut.
          Baradja (1991:128) menjelaskan bahwa, faktor-faktor yang bertanggung jawab akan adanya kesulitan dalam hal membaca suatu teks banyak sekali.  Faktor-faktor itu beliau kelompokkan menjadi dua, yaitu kesulitan secara makro dan mikro. Pada faktor makro, Baradja menyebutnya antara lain perbedaan latar belakang penulis dengan pembaca, termasuk di dalamnya perbedaan pengetahuan, bahasa dan kode bahasa yang digunakan, kebudayaan dan  perbedaan asumsi. Dari segi mikro, ditulisnya antara lain  kesulitan dalam memahami ungkapan,  afiksasi,  kata  sambung,  serta pola kalimat. Kesulitan-kesulitan dari segi mikro ini, menurut beliau terutama dirasakan oleh orang asing yang membaca wacana berbahasa Indonesia atau sebaliknya oleh orang Indonesia yang membaca wacana berbahasa asing.
          Harjasujana dan Mulyati  (1996/1997: 107)  menegaskan bahwa  penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni panjang pendek kalimat dan tingkat kesulitan kata.  Berikut ini adalah uraiannya:
1.             Panjang pendeknya kalimat
          Menurut Hafni (1981:22) semua formula keterbacaan mempertimbangkan faktor panjang kalimat. Kalimat yang lebih panjang cendrung lebih ruwet dibandingkan dengan kalimat pendek. Lebih jauh dikatakannya bahwa panjang kalimat merupakan indeks yang mencerminkan adanya pengaruh jangka ingat (memory span) terhadap keterbacaan. Beberapa peneliti berdasarkan penelitian yang dilakukannya membuktikan bahwa faktor panjang kalimat ini termasuk salah satu faktor yang menyebabkan sebuah  wacana sulit dipahami (Lihat antara lain Damaianti, 1995 dan Kurniawan, 1996). Ini berarti bawa faktor panjang kalimat diyakini sangat berpengaruh terhadap tingkat keterbacaan  sebuah wacana.
          Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata maka bahan bacaan tersebut semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan kata-katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacan yang mudah.
2.             Tingkat kesulitan kata
          Semakin sulit bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut rendah. Sebaliknya, semakin mudah bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut tinggi. Pertimbangan panjang-pendek kata dan tingkat kesulitan anak sekolah dasar kelas empat, lima dan enam adalah kata dalam pemakaian formula keterbacaan, semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan struktur permukaan teks. Struktur yang secara visual dapat dilihat. Sedangkan konsep yang terkandung dalam bacaan sebagai struktur dalam dari bacaan tersebut tampaknya tidak diperhatikan. Dengan kata lain, rumusan formula-formula keterbacaan sering digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan itu tidak memperhatikan unsur semantis.
          Seperti halnya kriteria kesulitan kalimat, kriteria kesulitan kata juga didasarkan atas wujud (struktur) yang tampak. Jika sebuah kalimat secara visual tampak lebih panjang, artinya kalimat tersebut tergolong sukar, sebaliknya, jika sebuah kalimat atau kata secara visual tampak pendek, maka kalimat tersebut tergolong mudah.
Dalam hal keterbacaan berdasarkan kondisi siswa, data dikaji berdasarkan karakteristik siswa ditinjau dari (1) jenis buku teks pelajaran yang digunakan (Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial); (2) kewilayahan (Indonesia bagian Barat dan Timur); (3) tingkatan pendidikan (kelas rendah/kelas 1 dan 2 dibandingkan dengan kelas tinggi, kelas 3,4,5, dan 6); serta (3) berdasarkan jenis kelamin siswa (laki-laki dan perempuan). Sementara itu, data dari guru tidak diklasifikasikan berdasarkan karakteristik guru, karena hal itu bukan sebagai fokus kajian ini.
          Kajian ini dilakukan dengan menggunakan sumber data berupa:
(1) Semua buku teks pelajaran Sekolah Dasar yang berstandar nasional.
(2) Siswa Sekolah Dasar ( kelas 1 sampai dengan kelas 6) yang menggunakan buku teks pelajaran yang berstandar nasional.(3) Guru Sekolah Dasar yang menggunakan buku teks pelajaran yang berstandar nasional sebagai bahan pembelajarannya.

BAB III
PENUTUP


3.1          Kesimpulan
          Keterbacaan merupakan alih bahasa dari “Readability” yang merupakan turunan dari “Readable”,artinya dapat dibaca atau terbaca. Keterbacaan berkaitan dengan kemudahan suatu teks untuk dibaca. Suatu teks dikatakan berketerbacaan tinggi apabila mudah dipahami. Sebaliknya, teks dikatakan berketerbacaan  rendah apabila sulit dipahami. tingkat keterebacaan dapat diartikan sebagai tingkat kesulitan atau kemudahan wacana. Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Oleh karena itu, setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, seorang guru akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut yang dapat digunakan untuk peringkat kelas tertentu. Faktor yang paling utama mempengaruhi keterbacaan ada dua hal, yakni panjang pendeknya kalimat dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah huruf dan penyataan yang membentuknya.
          BSNP telah menetapkan “keterbacaan” sebagai salah satu dari lima aspek yang dijadikan standar penilaian buku pelajaran yang baik. Ini menandakan bahwa faktor keterbacaan wacana harus menjadi perhatian utama dalam penulisan wacana, terutama untuk bahan ajar dan buku pelajaran. Kita menyadari bahwa buku pelajaran adalah media pembelajaran yang dominan peranannya di kelas. Oleh karena itu, buku pelajaran harus dirancang dengan baik dan benar dengan memperhatikan kelima standar yang ditetapkan itu. Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22/2007 maka buku pelajaran yang dipakai di setiap sekolah seharusnya memenuhi standar kelayakan tersebut.
          Harjasujana dan Mulyati  (1996/1997: 107)  menegaskan bahwa  penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni:
1.      Panjang  pendeknya kalimat. Semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata maka bahan bacaan tersebut semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan kata-katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacan yang mudah.
2.      Tingkat kesulitan kata. Hafni juga menegaskan bahwa semua formula baca bertolak dari ukuran kata. Semakin sulit bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut rendah. Sebaliknya, semakin mudah bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut tinggi.
Salah satu teks anak yang penting untuk diperhatikan dikelas tinggi sekolah dasar dan ditinjau adalah teks pada buku paket sekolah atau buku teks sekolah. Buku teks sekolah memiliki peran yang penting dalam kegiatan belajar - mengajar di kelas. Buku teks berfungsi sebagai sumber informasi dan sarana peununjang kegiatan belajar-mengajar. Oleh karena itu buku teks pelajaran kurikulum 2013 yang diberi ke siswa harus sesuai dengan kemampuan anak kelas tinggi seperti kelas empat, lima dan enam. Maksudnya keterbacan siswa dalam kelas tinggi harus lebih mudah dipahami dan di mengerti oleh siswa.

3.2          Saran

1.      Hendaknya para guru memiliki kemampuan untuk mengukur keterbacaan pada sebuah  teks bacaan yang akan disajikan kepada siswa kelas empat, lima dan enam. Hal ini bertujuan agar materi yang diberikan oleh guru dapat sesuai dengan tingkat keterbacaannya.
2.      Guru bahasa Indonesia juga sebaiknya dapat meningkatkan kemampaun membaca siswa dengan teknik baca yang cepat. Dalam melaksanakan pembelajaran membaca hendaknya guru mengetahui benar teori-teori membaca.
3.      Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran membaca ataupun pembelajaran lainnya hendaknya guru dapat melaksanakn pemebelajaran dengan model penelitian tindakan kelas.



DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Yunus. 2010. Strategi Membaca Teori dan Pembelajaran. Bandung: Rizqy Press
Aditya. Fikri. 2013. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Nur Ilmu
Chaer, Abdul.2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Solchan, T W. 2009. Pendidikan Bahasa Indonesia di SD. Jakarta: Universitas Terbuka
Rahma, Rosita. 2016. Keterbacaan Teks Pada Buku Model Bahasa Indonesia Tematik Sd Kelas Tinggi Kurikulum 2013. Riksa Bahasa Volume 2, Nomor 1. (94-103)
Kurnia, Ita. 2015. Keterbacaan Teks Dan Kebudayan Pada Buku Siswa Kelas V Sd Terbitan Kemendikbud. Riksa Bahasa Volume 1 Nomor 2 (203-212)

No comments:

Post a Comment