BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, ada
beberapa komponenm yang harus diperhatikan, seperti kebijakan pendidikan,
tenaga pengajar, sarana prasarana pendidikan, dan sebagainya. Semua komponen
tersebut mendukung proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah. Dalam
pelaksanaan di lapangan, proses pembelajaran tersebut akan berlangsung dengan
baik jika ditunjang (salah satunya) oleh buku teks yang baik
Buku teks memiliki fungsi yang penting dalam proses
pembelajaran disekolah dasar. Selain sebagai acuan dalam pelaksanaan
pembelajaran, buku teks juga berfungsi sebagai sumber informasi dan pengetahuan
bagi siswa. Selain itu, buku teks juga berisi rambu-rambu kompetensi ideal yang
harus dicapai oleh siswa. Mengingat fungsi dan peran penting buku teks dalam
pelaksanaan pembelajaran di kelas, penyusunan buku teks harus dilakukan dengan
penuh ketelitian dan kehati-hatian. Ketelitian baik dari segi isi informasi
maupun dari segi kebahasaannya.
Oleh karena alasan itulah, Pusat Kurikulum dan
Perbukuan, Kemdikbud menetapkan tiga aspek yang harus mendapatkan perhatian
penulis terkait dengan penulisan buku teks. Aspek tersebut antara lain: materi,
penyajian, dan keterbacaan. Aspek materi berkaitan dengan kelengkapan materi sesuai
dengan kurikulum yang berlaku. Aspek penyajian menyangkut organisasi penyajian
buku teks itu sendiri dan harus mempertimbangkan kesetaraan gender. Aspek
keterbacaan berkaitan dengan peristilahan, kejelasan bahasa, dan kesesuaian
bahasa dengan perkembangan anak (Ruwanto, 2013).
Aspek keterbacaan merupakan aspek yang
seringkali kurang mendapatkan perhatian dari penulis buku teks. Penggunaan
istilah dan susunan kalimat yang rumit kadang digunakan penulis tanpa
memertimbangkan usia dan jenjang kognisi siswa. Selain itu, teks-teks yang
digunakan juga kadang memiliki tingkat kekompleksitasan yang tinggi. Hal ini
menyebabkan siswa kurang memahami materi dan informasi yang terdapat pada bahan
bacaan. Padahal, hampir semua materi dalam buku teks disajikan dalam bentuk
teks bacaan. Apalagi Kurikulum 2013 saat ini berbasis teks. Artinya, siswa
dituntut untuk memahami dan menghasilkan teks bacaan dan bahasa.
Dunia anak sekolah dasar jelas berbeda dengan dunia orang dewasa. Hal
ini adalah kesulitan utama dalam penyusunan teks untuk anak. Banyak aspek yang
harus diperhatikan. Adapun aspek terpenting dalam penyusunan teks anak ini
diantaranya adalah bahasa dan ruang lingkup daya tangkap anak-anak (Liotohe,
1991: 14).
Menurut Chaer (2012:53)
menyatakan adanya keterkaitan bahasa dengan manusia yang bersifat dinamis.
Perubahan bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan manusia dalam masyarakat tidak
tetap sehingga bahasa menjadi tidak tetap oleh karena itu bahasa bersifat
dinamis
Salah satu teks anak yang penting
untuk diperhatikan dikelas tinggi sekolah dasar dan ditinjau adalah teks pada
buku paket sekolah atau buku teks sekolah. Buku teks sekolah memiliki peran
yang penting dalam kegiatan belajar - mengajar di kelas. Buku teks berfungsi
sebagai sumber informasi dan sarana peununjang kegiatan belajar-mengajar. Oleh
karena itu buku teks pelajaran kurikulum 2013 yang diberi ke siswa harus sesuai
dengan kemampuan anak kelas tinggi seperti kelas empat, lima dan enam.
Maksudnya keterbacan siswa dalam kelas tinggi harus lebih mudah dipahami dan di
mengerti oleh siswa.
Keterbacaan dalam ruang lingkup
sekolah dasar khususnya kelas tinggi memerlukan pengajaran membaca yang
memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang.
Keterbacaan merupakan ukuran tentang sesuai atau tidaknya suatu bacaan bagi
pembaca tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Makalah ini akan membahas mengenai
pengertian keterbacaan, pentingnya keterbacaan, faktor-faktor yang mempengaruhi
keterbacaan di kelas tinggi sekolah dasar khususnya empat, lima dan enam.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalahnya
tentang keterbacaan buku kelas tinggi adalah sebagai berikut :
1.
Apa itu keterbacaan
2.
Bagaimana
pentingnya keterbacaan untuk kelas tinggi?
3.
Apa saja faktor keterbacaan?
1.3 Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuannya adalah untuk :
1.
Mengetahui pengertian keterbacaan.
2.
Mengetahui pentingnya keterbacaan dikelas tinggi
3.
Mengetahui faktor-faktor keterbacaan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Keterbacaan
Keterbacaan merupakan alih bahasa
dari (readability). Bentuk readability meru-pakan kata turunan yang dibentuk
oleh bentuk dasar “readable”, artinya “dapat dibaca” atau “terbaca”.
Keterbacaan adalah ihwal terbaca tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh
pembacanya (A. Hardjasujana dan Mulyati, 1996:106). Jadi, keterbacaan
mempersoalkan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan
tertentu bagi peringkat pembaca tertentu.
Sesuai atau
tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat
kesukarannya. Dikatakan sesuai jika bacaannya tidak terlalu sukar dan tidak
terlalu mudah atau sedang. Dikatakan tidak sesuai jika bacaannya sukar atau
mudah. Jika bacaan terlalu sukar, pembaca terpaksa membaca dengan lambat,
bahkan berulang-ulang untuk memahami bacaan yang dibaca. Ia akan tidak sabar, malas,
bahkan frustasi sehingga tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkannya.
Sebaliknya, bacaan yang terlalu mudah akan membuat pembaca bosan atau
meremehkan karena tidak ada tantangan, merasa tidak berguna, dan atau merasa
sudah bisa atau tahu.
Menurut Tampubolon (1990:213),
secara umum dapat dikatakan bahwa keterba-caan (readability) ialah sesuai
tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari tingkat kesukarannya.
Keterbacaan dapat pula diartikan perihal terbaca tidak-nya sebuah buku teks oleh
pembaca tertentu.
Keterbacaan
di lingkungan sekolah dasar khususnya kelas tinggi (empat, lima dan enam) sangat berbeda dengan anak smp dan sma.
Dikatakan tidak sesuai karena keterbacaan kelas tinngi sangatlah masih susah
membaca teks bacaan yang agak rumit dan yang agak susah. Hal inilah yang
membuat keterbacaan sangatlah susah di kalangan kelas tinggi khusunya kelas
(empat, lima dan enam).
Dari beberapa pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa keterbacaan berkaitan dengan
pemahaman. Bacaan yang memenuhi kesesuaian keterbacaan ialah bacaan yang dapat
dipahami oleh pembaca. Bacaan yang tidak bisa atau sulit dipahami pembaca
merupakan bacaan yang tidak memenuhi kesesuaian keterbacan. Bacaan yang terlalu
mudah dipahami pembaca juga merupakan bacaan yang tidak memenuhi kesesuaian
keterbacan. Oleh karena itu, setelah melakukan pengukuran keterbacaan
sebuah wacana, seorang guru akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan
tersebut yang dapat digunakan untuk kelas tertentu. Faktor yang paling utama
mempengaruhi keterbacaan ada dua hal, yakni panjang pendeknya kalimat dan
tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah huruf dan penyataan yang
membentuknya.
2.2
Keterbacaan
untuk Kelas Tinggi
Sebuah bacaan (buku teks) yang memiliki tingkat
keterbacaan tinggi akan mempengaruhi pembacanya. Menurut Sulastri (2008:3)
bacaan yang tingkat keterbacaannya tinggi dapat meningkatkan minat belajar,
menambah kecepatan dan efisiensi membaca. Selain itu juga dapat memelihara
kebiasaan membaca para pembacanya karena mereka merasa dapat memahami wacananya
dengan mudah. Oleh sebab itu, mengetahui tingkat keterbacaan wacana khususnya
buku teks pelajaran Bahasa Indonesia memang diperlukan karena banyak manfaat yang
didapat dari informasi tingkat keterbacaan buku tersebut.
Keterbacaan buku teks khususnya buku teks Bahasa
Indonesia perlu diketahui agar seorang guru dapat memilih buku teks yang sesuai
dengan tingkat kemampuan siswanya. Siswa yang aktif dapat diketahui bila mana
mereka bisa membaca secara lancar. Untuk kelas empat biasanya mereka membaca
dengan menggunakan bahasa yang sesuai EYD, karena jika mereka membaca yang teks
bacaannya yang rumit maka mereka susah untuk mengerti tentang apa yg ia baca.
Sedangkan kelas lima mereka bisa memahami teks bacaan bila mana membaca dengan
intonasi nada yg sangat rendah, intonasi nada sangatlah berperan penting dalam
memahami siswa dalam membaca, dan tingkat membaca siswa kelas lima masih bisa
dibilang hampir sempurna. Hal ini berbeda dengan kelas enam, kelas enam sudah
bisa memahami teks bacaan yang hampir sulit namun ia bisa mengerti tentang apa
yang ia baca. Maka dari itu inilah
bedanya teks bacaan yang ada dalam kurikulum 2013.
Jika tingkat
keterbacaan sebuah buku teks sudah diketahui, maka kegiatan belajar mengajar
dapat berjalan lebih lancar dengan bantuan buku ajar yang dapat dipahami dengan
mudah oleh siswa. Siswa dapat memahami materi yang ada di buku dengan tanpa
bimbingan dari guru.
Pengetahuan
dibagun melalui keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar sambil
melakukan tindakan (learning by doing).
Keberhasilan pembelajaran tidak terletak pada seberapa banyak materi atau
informasi yang disampaikan guru kepada siswa. Siswa sebagai penerima informasi
dengan melibatkannya secara aktif dan belajar sehingga guru dapat mengetahui
ukuran keberhasilan siswa. (Solchan 2009:1.24)
Berdasarkan
kajian terhadap aspek penggunaan kata atau pilihan kata maka buku pelajaran
sekolah dasar untuk siswa kelas satu sampai dengan tiga yang memiliki
keterbacaan tinggi jika pada buku tersebut digunakan kosakata sederhana,
memiliki sukukata sederhana, dan kosakatanya berhubungan dengan konteks social
siswa. Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai
dengan enam sebaiknya menghindari penggunaan istilah-istilah khusus, asing atau
bermakna konotatif.
Hal
ini bacaan atau latihan dalam buku teks pelajaran, diketahui bahwa buku
pelajaran untuk sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas tiga sebaiknya
menggunakan pertanyaan bacaan berbentuk isian terbatas, rumpang kata, atau
melengkapi sebuah kata dalam konteks kalimat. Sementara itu, pertanyaan atau
latihan untuk siswa kelas empat sampai dengan kelas enam dapat menggunakan pertanyaan,
perintah, atau latihan yang menuntut pengembangan kemampuan berpikir logis dan
kemampuan berpikir abstrak.
BSNP telah
menetapkan “keterbacaan” sebagai salah satu dari lima aspek yang dijadikan
standar penilaian buku pelajaran yang baik. Ini menandakan bahwa faktor
keterbacaan wacana harus menjadi perhatian utama dalam penulisan wacana,
terutama untuk bahan ajar dan buku pelajaran. Kita menyadari bahwa buku
pelajaran adalah media pembelajaran yang dominan peranannya di kelas. Oleh
karena itu, buku pelajaran harus dirancang dengan baik dan benar dengan
memperhatikan kelima standar yang ditetapkan itu.
Sesuai Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22/2007 maka buku pelajaran yang dipakai di
setiap sekolah seharusnya memenuhi standar kelayakan tersebut. Khusus mengenai
keterbacaan, tentulah diharapkan kiranya wacana-wacana yang tersaji dalam buku
pelajaran selalu memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi bagi siswa yang akan
membacanya.
Berkaitan dengan itu dapat disimpulkan bahwa bacaan
yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi akan mempengaruhi pembacanya.
Bacaan seperti ini dapat meningkatkan minat belajar, menambah kecepatan dan
efisiensi membaca. Tidak hanya itu, bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan
tinggi biasanya dapat memelihara kebiasaan membaca para pembacanya karena
mereka merasa dapat memahami wacana seperti itu dengan mudah. Hal inilah yang
dimaksud dengan keterbacaan yang ada pada kelas tinggi khususnya empat, lima
dan enam.
2.3
Faktor
Keterbacaan
Buku
teks pelajaran juga harus menyajikan tujuan pembelajaran, mengatur gradasi dan
seleksi bahan ajar, mengurutkan penugasan kepada siswa, memerhatikan hubungan
antarbahan, dan hubungan teks dengan latihan dan soal. Penyajian ini hendaknya
dapat meningkatkan motivasi siswa, mengarah pada penguasaan kompetensi, saling
berkaitan sehingga bahan yang satu dapat mengingatkan bahan yang lainnya (recalling
prerequisite), memanfaatkan umpan balik (feedback) dan refleksi diri
(self-reflection).
Buku
teks pelajaran hendaknya juga mampu menyampaikan bahan ajar itu dalam bahasa
yang baik dan benar. Aspek keterbacaan berkaitan dengan tingkat kemudahan bahasa
(kosakata, kalimat, paragraf, dan wacana) bagi siswa sesuai dengan jenjang
pendidikannya, yakni hal-hal yang berhubungan dengan kemudahan membaca bentuk
tulisan atau topografi, lebar spasi dan aspek-aspek grafika lainnya,
kemenarikan bahan ajar sesuai dengan minat pembaca, kepadatan gagasan dan
informasi yang ada dalam bacaan, dan keindahan gaya tulisan, serta kesesuaian
dengan tata bahasa baku.
Untuk
mengenal sebagian dari faktor-faktor dimaksud dalam kelas tinggi disekolah
dasar yaitu, faktor kebahasaan dalam teks, latar belakang
pengetahuan pembaca dan minat pembaca, dan motivasi
pembaca. Dalam hubungannya dengan faktor kebahasaan seperti
yang yang sering terjadi di kelas empat, lima dan enam dalam kurikulum 2013
meliputi
,kekomplekan
ide dan bahasa yang terdapat dalam wacana, dan jenis kata yang digunakan
dalam wacana tersebut. Sehingga kesulitan siswa dalam bacaan buku kurikulum
2013 dapat diketahui dari pejelasan tersebut.
Baradja
(1991:128) menjelaskan bahwa, faktor-faktor yang bertanggung jawab akan adanya
kesulitan dalam hal membaca suatu teks banyak sekali. Faktor-faktor itu
beliau kelompokkan menjadi dua, yaitu kesulitan secara makro dan mikro. Pada
faktor makro, Baradja menyebutnya antara lain perbedaan latar belakang penulis
dengan pembaca, termasuk di dalamnya perbedaan pengetahuan, bahasa dan kode
bahasa yang digunakan, kebudayaan dan perbedaan asumsi. Dari segi mikro,
ditulisnya antara lain kesulitan dalam memahami ungkapan,
afiksasi, kata sambung, serta pola kalimat.
Kesulitan-kesulitan dari segi mikro ini, menurut beliau terutama dirasakan oleh
orang asing yang membaca wacana berbahasa Indonesia atau sebaliknya oleh orang
Indonesia yang membaca wacana berbahasa asing.
Harjasujana
dan Mulyati (1996/1997: 107) menegaskan bahwa penelitian yang
terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap
keterbacaan, yakni panjang pendek kalimat dan tingkat kesulitan kata.
Berikut ini adalah uraiannya:
1.
Panjang pendeknya kalimat
Menurut
Hafni (1981:22) semua formula keterbacaan mempertimbangkan faktor panjang
kalimat. Kalimat yang lebih panjang cendrung lebih ruwet dibandingkan dengan
kalimat pendek. Lebih jauh dikatakannya bahwa panjang kalimat merupakan indeks
yang mencerminkan adanya pengaruh jangka ingat (memory span) terhadap
keterbacaan. Beberapa peneliti berdasarkan penelitian yang dilakukannya
membuktikan bahwa faktor panjang kalimat ini termasuk salah satu faktor yang
menyebabkan sebuah wacana sulit dipahami (Lihat antara lain Damaianti,
1995 dan Kurniawan, 1996). Ini berarti bawa faktor panjang kalimat diyakini
sangat berpengaruh terhadap tingkat keterbacaan sebuah wacana.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata maka
bahan bacaan tersebut semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan kata-katanya
pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacan yang mudah.
2.
Tingkat kesulitan kata
Semakin
sulit bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut
rendah. Sebaliknya, semakin mudah bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat
keterbacaan wacana tersebut tinggi. Pertimbangan panjang-pendek kata dan
tingkat kesulitan anak sekolah dasar kelas empat, lima dan enam adalah kata
dalam pemakaian formula keterbacaan, semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan struktur
permukaan teks. Struktur yang secara visual dapat dilihat. Sedangkan
konsep yang terkandung dalam bacaan sebagai struktur dalam dari
bacaan tersebut tampaknya tidak diperhatikan. Dengan kata lain, rumusan
formula-formula keterbacaan sering digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan
itu tidak memperhatikan unsur semantis.
Seperti
halnya kriteria kesulitan kalimat, kriteria kesulitan kata juga didasarkan atas
wujud (struktur) yang tampak. Jika sebuah kalimat secara visual tampak lebih panjang,
artinya kalimat tersebut tergolong sukar, sebaliknya, jika sebuah kalimat atau
kata secara visual tampak pendek, maka kalimat tersebut tergolong mudah.
Dalam
hal keterbacaan berdasarkan kondisi siswa, data dikaji berdasarkan
karakteristik siswa ditinjau dari (1) jenis buku teks pelajaran yang digunakan
(Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial); (2) kewilayahan
(Indonesia bagian Barat dan Timur); (3) tingkatan pendidikan (kelas
rendah/kelas 1 dan 2 dibandingkan dengan kelas tinggi, kelas 3,4,5, dan 6);
serta (3) berdasarkan jenis kelamin siswa (laki-laki dan perempuan). Sementara
itu, data dari guru tidak diklasifikasikan berdasarkan karakteristik guru,
karena hal itu bukan sebagai fokus kajian ini.
Kajian ini dilakukan dengan menggunakan sumber data berupa:
(1) Semua buku teks pelajaran Sekolah Dasar yang berstandar nasional.
(2) Siswa Sekolah Dasar ( kelas 1 sampai dengan kelas 6) yang menggunakan buku teks pelajaran yang berstandar nasional.(3) Guru Sekolah Dasar yang menggunakan buku teks pelajaran yang berstandar nasional sebagai bahan pembelajarannya.
(1) Semua buku teks pelajaran Sekolah Dasar yang berstandar nasional.
(2) Siswa Sekolah Dasar ( kelas 1 sampai dengan kelas 6) yang menggunakan buku teks pelajaran yang berstandar nasional.(3) Guru Sekolah Dasar yang menggunakan buku teks pelajaran yang berstandar nasional sebagai bahan pembelajarannya.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Keterbacaan
merupakan alih bahasa dari “Readability” yang merupakan turunan dari “Readable”,artinya
dapat dibaca atau terbaca. Keterbacaan berkaitan dengan kemudahan suatu teks
untuk dibaca. Suatu teks dikatakan berketerbacaan tinggi apabila mudah
dipahami. Sebaliknya, teks dikatakan berketerbacaan rendah apabila sulit
dipahami. tingkat keterebacaan dapat diartikan sebagai tingkat kesulitan atau
kemudahan wacana. Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk
peringkat kelas. Oleh karena itu, setelah melakukan pengukuran keterbacaan
sebuah wacana, seorang guru akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut
yang dapat digunakan untuk peringkat kelas tertentu. Faktor yang paling utama
mempengaruhi keterbacaan ada dua hal, yakni panjang pendeknya kalimat dan
tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah huruf dan penyataan yang
membentuknya.
BSNP
telah menetapkan “keterbacaan” sebagai salah satu dari lima aspek yang
dijadikan standar penilaian buku pelajaran yang baik. Ini menandakan bahwa
faktor keterbacaan wacana harus menjadi perhatian utama dalam penulisan wacana,
terutama untuk bahan ajar dan buku pelajaran. Kita menyadari bahwa buku
pelajaran adalah media pembelajaran yang dominan peranannya di kelas. Oleh
karena itu, buku pelajaran harus dirancang dengan baik dan benar dengan
memperhatikan kelima standar yang ditetapkan itu. Sesuai Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22/2007 maka buku pelajaran yang dipakai di setiap
sekolah seharusnya memenuhi standar kelayakan tersebut.
Harjasujana
dan Mulyati (1996/1997: 107) menegaskan bahwa penelitian yang
terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap
keterbacaan, yakni:
1.
Panjang pendeknya kalimat. Semakin panjang
kalimat dan semakin panjang kata maka bahan bacaan tersebut semakin sukar.
Sebaliknya, jika kalimat dan kata-katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud
tergolong wacan yang mudah.
2.
Tingkat kesulitan kata. Hafni juga menegaskan bahwa
semua formula baca bertolak dari ukuran kata. Semakin sulit bacaan tersebut
dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana tersebut rendah. Sebaliknya,
semakin mudah bacaan tersebut dimengerti, maka tingkat keterbacaan wacana
tersebut tinggi.
Salah satu teks anak yang penting
untuk diperhatikan dikelas tinggi sekolah dasar dan ditinjau adalah teks pada
buku paket sekolah atau buku teks sekolah. Buku teks sekolah memiliki peran
yang penting dalam kegiatan belajar - mengajar di kelas. Buku teks berfungsi
sebagai sumber informasi dan sarana peununjang kegiatan belajar-mengajar. Oleh
karena itu buku teks pelajaran kurikulum 2013 yang diberi ke siswa harus sesuai
dengan kemampuan anak kelas tinggi seperti kelas empat, lima dan enam.
Maksudnya keterbacan siswa dalam kelas tinggi harus lebih mudah dipahami dan di
mengerti oleh siswa.
3.2
Saran
1. Hendaknya
para guru memiliki kemampuan untuk mengukur keterbacaan pada sebuah teks
bacaan yang akan disajikan kepada siswa kelas empat, lima dan enam. Hal ini
bertujuan agar materi yang diberikan oleh guru dapat sesuai dengan tingkat
keterbacaannya.
2. Guru bahasa Indonesia
juga sebaiknya dapat meningkatkan kemampaun membaca siswa dengan teknik baca
yang cepat. Dalam melaksanakan pembelajaran membaca hendaknya guru mengetahui
benar teori-teori membaca.
3. Untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran membaca ataupun pembelajaran lainnya hendaknya guru dapat
melaksanakn pemebelajaran dengan model penelitian tindakan kelas.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin,
Yunus. 2010. Strategi Membaca Teori dan Pembelajaran. Bandung: Rizqy
Press
Aditya. Fikri. 2013. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap.
Surabaya: Nur Ilmu
Chaer,
Abdul.2012. Linguistik Umum. Jakarta:
Rineka Cipta
Solchan, T W. 2009. Pendidikan Bahasa Indonesia di SD. Jakarta: Universitas Terbuka
https://uniisna.wordpress.com/2010/12/31/keterbacaan-wacana-dan-teknik-pengukurannya-2/
diaskes 09 Desember 2017
http://read-herli.blogspot.nl/2008/11/keterbacaan-buku-teks-pelajaran.html.
diaskes 09 Desember 2017
Rahma,
Rosita. 2016. Keterbacaan Teks Pada Buku Model Bahasa Indonesia Tematik Sd Kelas Tinggi
Kurikulum 2013. Riksa Bahasa
Volume 2, Nomor 1. (94-103)
Kurnia,
Ita. 2015. Keterbacaan Teks Dan Kebudayan Pada Buku Siswa Kelas V Sd Terbitan
Kemendikbud. Riksa Bahasa
Volume 1 Nomor 2 (203-212)
No comments:
Post a Comment